Search
Kebutuhan dan ketersediaan dokter hewan di Indonesia masih belum seimbang. Berdasarkan data dari Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), sektor peternakan di Indonesia memerlukan sebanyak 50.000 dokter hewan. Angka ini akan terus bertambah setiap tahun sedangkan jumlah dokter hewan yang tersedia saat ini kurang dari 20.000 dokter hewan. Di sisi lain, Indonesia memiliki 1.691 Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) yang tersebar di seluruh daerah, akan tetapi hanya 21% kecamatan yang menyediakan fasilitas Puskeswan aktif (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2020). Peraturan Menteri Pertanian nomor 64 tahun 2007 tentang Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan mencantumkan bahwa wilayah kerja Puskeswan meliputi satu sampai tiga kecamatan. Dengan demikian, jumlah ideal Puskeswan di Indonesia adalah sebanyak 3.547 unit, sehingga perlu tambahan lebih dari 1.800 unit Puskeswan. Sumatera Barat sendiri memiliki 61 Puskeswan, namun hanya 39 puskeswan yang memiliki tenaga dokter hewan. Bertambahnya jumlah Puskeswan di Indonesia termasuk di Sumatera Barat tentunya akan membutuhkan penambahan jumlah tenaga dokter hewan, khususnya di Sumatera Barat. Pada tahun 2022, terdapat sekitar 1000 lulusan dokter hewan yang berasal dari 11 Fakultas Kedokteran Hewan di Indonesia. Kondisi ini akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk memenuhi kebutuhan dokter hewan di Indonesia jika hanya bergantung pada 12 Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) yang ada. Selain itu peluang timbulnya banyak permasalahan terkait penyakit hewan maupun kesehatan masyarakat serta terhambatnya pengembangan veteriner dapat terjadi. Provinsi Sumatera Barat berperan penting dalam sektor pertanian yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian Indonesia, salah satunya dalam subsektor peternakan yaitu ternak sapi (Dirjen Peternakan dan Keswan, 2020). Hal ini dikarenakan Sumatera Barat memiliki lahan yang luas dan pasokan pakan ternak yang memadai dalam hal jumlah dan kualitas. Sebagai contoh, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok, Kota Sawahlunto, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Payakumbuh, dan Agam yang telah ditetapkan oleh pemerintah Sumatera Barat sebagai basis unggulan dalam pemeliharaan ternak sapi. Namun demikian, berdasarkan data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat tahun 2020-2022, jumlah ternak besar dan ternak kecil setiap tahun mengalami penurunan, khusus ternak unggas mengalami penurunan di tahun 2021 (Gambar 1.1). Hal ini bisa saja terjadi karena penurunan kesehatan hewan yang terkait dengan keterbatasan pelayanan kesehatan hewan sebagai akibat turunan dari minimnya ketersediaan dokter hewan di Sumatera Barat. Sumatera Barat juga merupakan salah satu provinsi etalase penyebaran penyakit hewan menular strategis (PHMS). Beberapa penyakit strategis pada hewan yang pernah merajalela di Sumatera Barat meliputi: Rabies, Septicaemia Epizootica/SE, Newcastle Disease, Jembrana, TBC, Anaplasma/Piroplasmosis, Surra, Anthrax, Brucellosis, Gumboro, Hog cholera dan Flu Burung/Avian influenza, dan Foot & Mouth Disease (FMD) atau Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Penyakit zoonosis menjadi perhatian khusus oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan karena berdampak pada kesehatan masyarakat. Salah satu penyakit zoonosis yang trennya fluktuatif adalah rabies. Hasil dari Press Conference Kementerian Kesehatan RI (2023), mengumumkan bahwa terdapat 11 kasus kematian pada manusia yang diakibatkan oleh rabies. Hingga saat ini di Indonesia tercatat jumlah kasus gigitan hewan penular rabies sebanyak 31.113 kasus, dimana 95% kasus rabies disebabkan oleh gigitan anjing. Kejadian ini mengakibatkan kerugian secara ekonomi pada daerah tertular diantaranya biaya penyidikan, pengendalian yang tinggi, serta tingginya biaya perawatan pasca pajanan dan sampai sekarang belum ada obat yang efektif untuk pengobatan penyakit rabies (Kemenkes RI, 2023).

Gambar 1.1.Statistik jumlah ternak Provinsi Sumatera Barat 2020-2022

Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu wilayah dari 24 provinsi di Indonesia yang endemis rabies dan masih sulit untuk menjadi wilayah bebas dari kasus rabies (Kemenkes RI, 2023). Data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat tentang kasus rabies di Sumatera Barat pada tahun 2023 sebanyak 20 hewan positif rabies, diantaranya 18 anjing dan 2 kucing. Tingginya kasus rabies di Sumatera Barat umumnya berkaitan dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat berburu babi hutan menggunakan anjing.Tradisi buru babi atau kandiak di Ranah Minang diperkirakan sudah berlangsung sejak lama dan aktivitas berburu babi hampir ditemukan di semua daerah Sumatera Barat. Tujuan dan fungsi berburu babi awalnya untuk membantu para petani memberantas hama babi hutan yang merusak area pertanian dan perkebunan masyarakat. Akan tetapi, aktivitas berburu babi saat ini telah menjadi bagian dari hobi masyarakat yang biasanya dilaksanakan di akhir minggu (hari libur). Keadaan lainnya yaitu beberapa daerah di Sumatera Barat masih menggunakan tenaga hewan seperti kera untuk memetik kelapa dan populasi kucing dan anjing liar juga masih tinggi. Hewan-hewan tersebut merupakan penyumbang penularan kasus rabies terbanyak atau dikenal dengan Hewan Penular Rabies (HPR). Pada tahun 2022 terdapat sebanyak 601 kasus PMK pada hewan ternak di Sumatera Barat yang mengalami penambahan rata-rata per harinya adalah 80 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sumatera Barat, 2022). PMK merupakan penyakit menular yang menyerang hewan ternak, seperti sapi, kerbau, domba, kambing, dan rusa. Terdapatnya kasus PMK ini menimbulkan kekhawatiran bagi peternak dan kerugian yang sangat tinggi dari segi ekonomi berupa penurunan produksi susu, penurunan tingkat pertumbuhan sapi potong, dan penurunan ketersediaan stok daging lokal akibat tingginya potensi kematian hewan ternak. Selain itu, dokter hewan juga berperan dalam mencegah penyebaran penyakit terutama penyakit zoonosis yang memiliki dampak terhadap kesehatan manusia. Penanganan penyakit zoonosis dengan konsep One Health bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penyakit zoonosis dan penyakit lainnya. Menurut Office International des Epizooties (OIE) ilmu kedokteran hewan berfungsi menangani urusan kesehatan dan kesejahteraan hewan serta penyakit-penyakit hewan yang berkaitan dengan jaminan keamanan pangan. Sumatera Barat terkenal sebagai destinasi wisata “kuliner halal” dan memiliki usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di sektor kuliner yang rata-rata menjual produk berbahan baku daging seperti Rendang. Rendang merupakan salah satu Kuliner yang dinobatkan sebagai “The Most Tastiest Food in the World” oleh CNNGo. Selain itu, jaminan “makanan halal” juga menjadi faktor Sumatera Barat memenangkan “World Best Halal Culinary Destination”. Keadaan inilah yang membutuhkan peran dokter hewan untuk memastikan keamanan pangan (food safety) asal hewan agar menjamin kesejahteraan masyarakat lokal dan wisatawan. Dokter hewan juga memiliki peran untuk mendukung program keamanan pangan nasional melalui penanganan penyakit yang berkaitan dengan penyediaan produk pangan asal hewan yang sehat (food healthy). Agar mencapai keamanan pangan asal hewan yang layak dan kecukupan daging lokal di Sumatera Barat diperlukan penjaminan sistem pangan sehat sesuai dengan kriteria Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) dan Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH). Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga kesehatan hewan yang akan memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan ternak agar bahan pangan asal hewan terjaga keamananya. Potensi peminat jurusan kedokteran hewan di Sumatera Barat sangat tinggi sedangkan keberadaan universitas yang memiliki program studi Kedokteran Hewan di Sumatera Barat masih belum ada. Saat ini baru terdapat dua program studi Kedokteran Hewan di Pulau Sumatera yaitu di Universitas Syiah Kuala yang sudah berdiri sejak tahun 1961 dan di Universitas Riau yang baru menerima mahasiswa pada tahun 2023. Jumlah peminatan jurusan kedokteran hewan di Universitas Syiah Kuala dari tahun 2020-2022 mengalami kenaikan sebagaimana Universitas lainnya di Indonesia. Hal ini terlihat dari data peminat jurusan Kedokteran Hewan di PTN Indonesia tahun 2020-2022 melalui jalur SNBT dan SNBP yang sangat tinggi sedangkan daya tampung (orang) masih sangat sedikit dengan rata-rata 10,9% (Sumber: Daftar peminat PTN). Data sebaran peminat program studi Kedokteran Hewan di perguruan tinggi negeri di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1. Berdasarkan hasil kuesioner yang disebarkan secara online kepada 974 siswa SMA/sederajat di kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Sebagian besar responden (94,5%) memiliki niat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi, dan sebanyak 37,6% di antaranya berminat untuk menempuh pendidikan tinggi di provinsi Sumatera Barat. Sebanyak 63,5% responden mengaku telah mengetahui tentang jurusan kedokteran hewan dan mendapatkan informasi tersebut melalui media sosial, sementara 16,2% memperoleh informasi dari guru di sekolah, dan sisanya berasal dari sumber informasi lainnya. Terkait minat untuk melanjutkan studi di Jurusan Kedokteran Hewan, sebanyak 167 (17,1%) responden menunjukkan ketertarikan. Angka ini signifikan karena hampir mencapai 20% (167 responden) berminat melanjutkan pendidikan di Jurusan Kedokteran Hewan. Selanjutnya, terdapat konsistensi dalam hasil survei pada dua pertanyaan, di mana 200 (20,5%) responden menyatakan minat untuk berkuliah di Jurusan Kedokteran Hewan jika program studi tersebut ada di Sumatera Barat. Pada pertanyaan selanjutnya terdapat 206 (21,2%) jawaban responden berminat jika program studi tersebut berlokasi di Kota Bukittinggi. Hal ini tentu dapat menjadi salah satu hal yang mendukung pendirian prodi Kedokteran Hewan oleh UNP di Kota Bukittinggi. Pemilihan Kota Bukittinggi sebagai lokasi pendirian prodi kedokteran hewan UNP didasarkan pada keberadaan Fakultas Kedokteran UNP sebagai fakultas yang membawahi prodi kedokteran hewan berada di Bukittinggi. Selain itu, terdapat beberapa pertimbangan lain, sebagai berikut:
  1. Bukittinggi adalah salah satu kota dengan perekonomian terbesar di Sumatera Barat yang terletak di wilayah strategis sehingga mudah dijangkau dari berbagai kota/kabupaten dan provinsi tetangga.
  2. Bukittinggi terletak di dataran tinggi yang dikelilingi hutan tropis sehingga cuaca di Kota Bukittinggi relatif sejuk (16-24ºC) dan sangat kondusif untuk belajar.
  3. Bukittinggi memiliki potensi lahan praktek dan jumlah pasien yang banyak, seperti Klinik Hewan, Balai Veteriner Bukittinggi, Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Padang Mengatas, Kebun Binatang Kinantan Bukittinggi, dan Puskeswan Tanah Datar yang menjadi fasilitas pendukung pendidikan bagi Prodi Kedokteran Hewan UNP, sehingga memudahkan mahasiswa dalam mendapatkan pengalaman praktik.
Berdasarkan penjelasan diatas, masih terdapat kekurangan jumlah dan distribusi tenaga dokter hewan yang belum merata sehingga berdampak pada kondisi kesehatan hewan yang menimbulkan permasalahan terhadap kesejahteraan masyarakat dan sektor ekonomi pangan, serta tingginya peminatan jurusan kedokteran hewan di PTN atau PTS Indonesia. Oleh karena itu, UNP mendirikan prodi kedokteran hewan yang bertujuan menghasilkan dokter hewan yang kompeten, bermartabat, dan bereputasi yang unggul dalam manajemen risiko kesehatan hewan dan masyarakat melalui konsep one health dan motto dokter hewan “manusya mriga satwa sewaka” yaitu mengabdi untuk kesejahteraan manusia melalui dunia hewan. Dokter hewan lulusan Prodi Kedokteran Hewan UNP akan menjadi leader dalam pencegahan dan penanggulangan masalah penyakit zoonosis yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan keamanan pangan.